
Penulis : Rifat Hakim (Mantan Ketua DPC GMNI Luwuk Banggai)
KILASBANGGAI.COM-Disahkannya revisi Undang-Undang TNI pada April 2024 menjadi tamparan keras bagi Demokrasi Indonesia yang selama ini dirawat dengan susah payah pasca-Reformasi. Alih-alih memperkuat akuntabilitas militer dalam negara demokratis, revisi ini justru memberi ruang yang luas bagi militer untuk kembali masuk ke ranah sipil tanpa mekanisme kontrol yang transparan.
Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah diperluasnya jabatan-jabatan sipil yang boleh diisi oleh prajurit aktif. Ini bukan hanya kemunduran Demokrasi, tetapi sinyal menguatnya semangat Orde Baru yang pernah membungkam akal sehat rakyat.
Fenomena masuknya TNI ke kampus-kampus dalam beberapa waktu terakhir juga menambah kekhawatiran. Sejumlah peristiwa memperlihatkan kehadiran militer saat mahasiswa menggelar diskusi ilmiah yang notabene merupakan bagian dari kebebasan akademik.
Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, telah ditegaskan bahwa kampus memiliki otonomi dan kebebasan akademik yang harus dilindungi dari intervensi eksternal, apalagi dari lembaga bersenjata. Kampus bukan barak militer. Kampus adalah ruang bebas berpikir, tempat lahirnya gagasan-gagasan kritis untuk kemajuan bangsa.
Namun sejarah telah mengajarkan kita bahwa militerisme yang tidak dikontrol hanya akan melahirkan kekuasaan otoriter. Kita tidak boleh lupa pada tragedi kelam 1998, ketika aktivis mahasiswa dan prodemokrasi diculik oleh aparat militer karena lantang menyuarakan keadilan dan Reformasi.
Sebagian dari mereka masih belum kembali hingga hari ini. Wiji Thukul, Herman Hendrawan, dan lainnya masih hilang. Ini bukan cerita lama yang bisa kita lupakan. Ini luka yang belum sembuh, dan bisa terulang jika kita lengah.
Kekhawatiran ini sejalan dengan peringatan keras yang pernah disampaikan oleh Presiden keempat Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang berkata:
“Militer tidak boleh berpolitik, sebab kalau militer berpolitik maka rakyat akan takut berbicara. Demokrasi akan mati pelan-pelan.”
Pernyataan ini adalah cerminan dari semangat Reformasi yang menempatkan supremasi sipil di atas kekuasaan bersenjata. Ketika tentara masuk ke ruang-ruang publik tanpa pengawasan, maka secara perlahan, ruang Demokrasi akan mengecil.
Lalu, bagaimana dengan Gen Z? Di era digital ini, Gen Z memiliki akses informasi yang luas dan potensi besar dalam membentuk opini publik. Namun, potensi ini tidak ada artinya jika tidak dibarengi dengan kesadaran kritis.
Jangan biarkan media sosial menjadi alat hegemoni kekuasaan yang membungkus represi dalam kemasan nasionalisme kosong. Saat negara mencoba membungkam kritik atas nama stabilitas, maka saat itulah rakyat harus lebih nyaring bersuara.
Generasi Z harus berani berpikir, berani bersikap, dan berani melawan segala bentuk penyimpangan kekuasaan. Demokrasi bukan hadiah, tetapi hasil perjuangan. Jika kita membiarkan militer kembali ke ruang-ruang sipil tanpa kontrol, maka bukan tidak mungkin Orde Baru hanya berganti baju.
Hari ini mungkin hanya masuk kampus, besok bisa jadi masuk ke ruang privat kita: pikiran, pilihan, dan kebebasan.
Jadi, Gen Z bisa apa? Gen Z bisa banyak, asal tidak diam.(*)
Discussion about this post