KILASBANGGAI.COM, LUWUK– Kebijakan Pemda Banggai menyalurkan bantuan program bernama Satu Juta Satu Pekarangan (SJSP) patutlah diberi apresiasi. Sayangnya, program itu seolah tak ada niatan tulus mewujudkan perbaikan ekonomi masyarakat.
Program ini bertujuan meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat melalui pemanfaatan lahan pekarangan.
Ada beragam program dalam pemanfaatan lahan tersebut. Program ini tak lebih dari sejenis Bantuan Langsung Tunai (BLT) saja, tak lebih.
Program SJSP ayam pedaging misalnya. Di sejumlah desa, warga yang menjadi penerima mengeluhkan program ayam pedaging.
Meskipun mereka memang menerima bibit ayam beserta pakan berikut vitaminnya, tapi tak mencukupi kebutuhan konsumsi ayam pedaging.
Tak hanya sebatas itu masalahnya. Rupanya, Pemda Banggai tak membekali para penerima bagaimana cara beternak. Praktis, tak ada pelatihan maupun pendampingan. Akibatnya, ayam pedaging sebagian mati. Produksinya tak menjanjikan.
Penerima harus merogoh kocek sendiri untuk membeli pakan demi mencukupi kebutuhan ternak yang telah mereka terima.
Warda Desa Piondo, Kecamatan Toili Jaya, Murtam misalnya. Dia adalah salah satu penerima program SJSP ayam pedaging pada tahun 2023.
Dari program itu, Murtam menerima 30 ekor anakan ayam di pendistribusian pertama. Pendistribusian kedua, dia mendapatkan tambahan 20 ekor. Totalnya, 50 ekor anakan ayam.
Pakan dan vitamin juga diterimanya. Saat proses pemeliharaan, pakan yang diberikan tak mencukupi. Agar ayam ayam ternak itu tetap hidup, Murtam harus membeli pakan, yakni jagung giling. Namun, rupanya pakan yang diberikan tidak menambah berat badan ayam pedaging.
“Ada yang mati. Ada yang dijual mas, tapi kecil ukurannya. Ada pakannya khusus, kalau cuma jagung giling berat ayam tidak naik. Jual murah,” kata Murtam kepada media ini, pekan kemarin.
Kesulitan warga, karena tak ada pembeli. Ayam yang mereka ternak dijual tak sesuai harapan.
“Dijual sama masyarakat sini. Kalau ada keluarga yang pesta, ya sudah jual saja. Meskipun harganya murah,” ungkapnya.
Juhariyah, warga Desa Piondo mengakui hal serupa. Rumah Murtam dan Juhariyah hanya bersebelahan jalan lingkungan.
Juhariyah yang seorang janda itu mengajak pewarta ini ke belakang rumahnya. Di belakang rumahnya itulah kandang ayam Juhariyah berdiri.
Kandang itu sudah dijadikan sebagai gudang tempat penyimpanan barang–barang yang tak lagi digunakannya.
Kandang ayam berukuran 1 X 2,5 meter itu kata Juhariyah, dibikin sendiri.
“Kami diberikan pakan dan vitamin, tapi tidak cukup. Ya, kami beli lagi pak,” cerita Juhariyah sembari tersenyum.
Meskipun hasil produksi ayam pedaging yang ia ternak tidak mendapatkan keuntungan, tapi Juhariyah masih tetap bersyukur.
“Mau gimana lagi mas,” ketusnya.
Para penerima itu mendapatkan 25 Kg pakan dan vitamin. Walaupun Juhariyah mengaku merawatnya dengan baik, tapi tetap saja ada yang mati.
“Punya saya itu kan dapat 50 ekor, mati 10. Jadi tersisa 40 ekor. Pakannya tidak cukup, saya beli lagi jagung Rp500 ribu,” ungkapnya.
Dengan wajah sumringah, Juhariyah mengaku, tak ada untungnya sama sekali. Baik Murtam maupun Juhariyah mengakui, mereka tidak mendapatkan pelatihan khusus atau pendampingan cara beternak ayam pedaging.
Mereka hanya diberikan arahan sekali di momen menerima bibit ayam. Selebihnya, mereka berjuang sendiri.
Mereka tak dapat melanjutkan program ternak ayam pedaging, karena tak memiliki modal. Harapan, produksi ayam pedaging dapat dijadikan modal, tak bisa diandalkan.
Dari keterangan warga setempat bahwa di wilayah Kecamatan Toili dan sekitarnya terdapat banyak peternak ayam pedaging. Proses peternakannya jauh lebih profesional.
Warga tak punya keahlian dalam hal beternak ayam pedaging. Berbeda ketika bantuan itu di sektor pertanian atau perkebunan, sudah dapat dipastikan akan dapat terkelola dengan baik. Sebab, masyarakat setempat adalah petani dan pekebun.(*)
Discussion about this post