Oleh : Irsan S. Nang
KILASBANGGAI.COM – Ada yang menarik pada penutupan Festival Teluk Lalong 2025, khususnya saat penampilan monolog berjudul TANDAYO dari Kecamatan Moilong. Pertunjukan ini tidak hanya memikat secara artistik, tetapi juga menghadirkan pesan ekologis yang kuat tentang hubungan manusia, alam, dan budaya lokal yang kini mulai terkikis oleh arus industrialisasi.
Dalam monolog tersebut, Tandayo digambarkan sebagai seorang anak yang hidup di tengah hutan bersama kakeknya, Kai’ Tumpu Nu Alas yang jika diartikan berarti Penjaga Hutan. Mereka tinggal di sebuah pulau bernama Tano Doso’an, yang dikenal masyarakat sebagai Hutan Larangan, tempat sakral yang dijaga turun-temurun oleh para leluhur agar tetap lestari.
Tandayo digambarkan sebagai tameng dan pewaris Tano Doso’an, penerus nilai-nilai kearifan lokal yang menjunjung harmoni antara manusia dan alam. Di pulau itu hidup burung Maleo, satwa endemik Sulawesi yang memiliki makna spiritual bagi masyarakat adat. Namun, ketenangan hutan itu terusik ketika datang para pemburu serakah yang menjarah telur Maleo dan hasil hutan lainnya demi keuntungan pribadi.
Untuk melindungi tanah leluhurnya, Tandayo memasang Ombo’ penangkal sakral di setiap sudut pulau sebagai simbol perlindungan dan perlawanan terhadap keserakahan manusia. Tetapi keserakahan itu melampaui batas: para pemburu yang tak lagi percaya pada pantangan dan nilai adat menghancurkan seluruh Ombo’, merusak hutan larangan, dan menjarah seluruh isi Tano Doso’an. Burung Maleo pun hilang, dan hutan yang dulu hidup kini berubah menjadi ruang sunyi tanpa roh.
Pada akhir monolog, Tandayo bersumpah akan menuntut balas bagi mereka yang telah mencabik kehormatan budaya dan menghancurkan hutan warisan leluhurnya. Sumpah itu bukan hanya bentuk kemarahan, tetapi juga seruan moral bagi generasi hari ini agar tidak diam menyaksikan kerusakan alam yang kian parah.
Kisah yang dibawakan dalam monolog tersebut sesungguhnya merupakan kritik ekologis terhadap realitas kontemporer. Para “pemburu” dalam cerita melambangkan korporasi dan kekuatan industri yang membabat hutan adat atas nama investasi dan pembangunan. Di balik jargon pembangunan, tersimpan jejak perampasan ruang hidup hutan ditebang, habitat Maleo lenyap, dan nilai budaya yang selama ini menjaga keseimbangan ekosistem perlahan memudar.
Maleo dalam kisah ini adalah simbol kehidupan dan keseimbangan alam Sulawesi; sedangkan Tandayo adalah personifikasi dari perlawanan dan kesadaran ekologis. Keduanya merepresentasikan benturan antara kearifan lokal dan logika industri, antara nilai-nilai pelestarian dan kerakusan manusia modern.
Monolog Tandayo hadir bukan hanya sebagai karya seni, tetapi sebagai manifesto ekologis yang menggugah kesadaran publik. Ia mengingatkan kita bahwa hutan bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi juga ruang spiritual dan identitas budaya. Ketika hutan rusak dan Maleo hilang, maka hilang pula sebagian dari jati diri masyarakat Sulawesi itu sendiri.
Karenanya, pesan yang ingin disampaikan jelas:
kita semua harus menjadi Tandayo penjaga Tano Doso’an di masa kini.
Menjadi mereka yang berani melindungi alam, budaya, dan kehidupan, meski arus industrialisasi terus menggoda dengan janji-janji pembangunan semu.












Discussion about this post