
Penulis: Rifat Hakim,S.Sos – Pemuda Batui
KILASBANGGAI.COM,BATUI- sebuah kecamatan yang dulunya dikenal sebagai kawasan agraris dan pesisir serta berbudaya, kini menjadi jantung industri energi di Kabupaten Banggai. Kehadiran perusahaan migas dan amoniak membawa gelombang perubahan besar baik dalam segi ekonomi maupun sosial budaya. Namun, di balik kilauan industrialisasi dan perputaran modal besar, muncul pertanyaan fundamental: apa dampak langsung yang dirasakan masyarakat lokal, terutama dalam sektor pendidikan?
Ironisnya, di tengah kekayaan sumber daya dan profit besar perusahaan, kita masih menjumpai anak-anak di Batui yang kesulitan mengakses pendidikan bermutu. Fasilitas sekolah yang tidak memadai, minimnya beasiswa, kurangnya pelatihan guru, dan tidak tersedianya ruang belajar modern adalah potret nyata ketimpangan yang menganga. Akibatnya anak muda terus menanganggur dan tidak punya skil. Maka, sudah saatnya kita menyuarakan dengan lantang: Dana Corporate Social Responsibility (CSR) harus difokuskan untuk sektor pendidikan.
CSR Jangan Hanya Jadi Etalase Pencitraan
Banyak perusahaan besar yang menjadikan program CSR hanya sebagai alat legitimasi dan pencitraan sosial. Mereka sibuk membangun gapura, membuat panggung festival, atau membagikan sembako musiman yang tidak berkelanjutan dan lebih parahnya lagi menyerat anggaran CSR ke wilayah yang jauh dari tapak projek. Padahal, filosofi CSR bukan sekadar “tanggung jawab sosial” yang dangkal, tetapi tanggung jawab moral dan strategis untuk ikut memperbaiki kualitas hidup masyarakat yang terdampak langsung, ingat sekali lagi terdampak langsung oleh operasi perusahaan.
Jika CSR hanya berhenti pada program instan dan permukaan, maka perusahaan telah gagal membaca kebutuhan paling mendasar masyarakat yaitu pendidikan sebagai jalan menuju kemandirian.
Pendidikan adalah Investasi Jangka Panjang
Ketika perusahaan migas dan amoniak menguras potensi alam Batui, mereka juga punya kewajiban membangun kapasitas manusia yang tinggal di atasnya. Anak-anak dan pemuda di Batui harus disiapkan menjadi generasi yang cerdas, kritis, dan mampu bersaing (mempunyai skill) tidak hanya menjadi penonton, apalagi korban dari eksploitasi sumber daya.
Dana CSR seharusnya diarahkan untuk:
• Membangun laboratorium dan perpustakaan modern di sekolah-sekolah lokal
• Menyediakan beasiswa untuk siswa SMA dan mahasiswa asal Batui, tanpa diskriminasi sosial
• Melatih guru dan tenaga pengajar agar adaptif terhadap perkembangan ilmu dan teknologi
• Membentuk pusat pelatihan vokasional berbasis kebutuhan industri lokal
• Mendorong literasi digital dan sains sejak dini
Pendidikan bukan hanya membuka pintu mobilitas sosial, tetapi juga membentuk masyarakat yang sadar hak, sadar lingkungan, dan mampu mengkritisi praktik industri yang merugikan.
Jangan Ulangi Pola Eksploitasi Lama
Sudah terlalu banyak cerita dari daerah-daerah kaya sumber daya yang warganya justru terjebak dalam kemiskinan struktural. Ketika sumber daya habis dan perusahaan pergi, yang tertinggal hanya limbah, konflik lahan, dan generasi yang kehilangan arah. Batui tidak boleh menjadi korban dari narasi lama itu.
Dengan mengarahkan dana CSR ke sektor pendidikan, perusahaan turut menjamin keberlanjutan sosial dan menghindari konflik horizontal akibat ketimpangan. Ini bukan hanya soal “baik hati”, tapi soal keadilan sosial dan tanggung jawab historis.
Pendidikan adalah akar dari kemajuan dan daya tahan masyarakat menghadapi zaman. Di tanah Batui yang kini menjadi pusat industrialisasi, hanya dengan pendidikan kita bisa melahirkan pemimpin, insinyur, dan pemikir yang berasal dari anak-anak lokal sendiri, bukan hanya buruh kasar di ladang tambang dan pabrik.
Maka, kita tidak sedang meminta. Kita sedang menuntut: Sebaiknya dana CSR perusahaan migas dan amoniak di Batui digunakan untuk pendidikan. Karena hanya pendidikan yang bisa menyelamatkan masa depan, ketika industri selesai menambang hari ini.(*)
Discussion about this post