KILASBANGGAI.COM – Dalam konteks politik dan hukum Indonesia, Mahkamah Konstitusi (MK) berfungsi sebagai pengawal konstitusi dan penjamin keadilan.
Dua putusan penting MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024, yang ditetapkan pada tahun 2024, menggarisbawahi komitmen MK dalam mengatur sistem pemilu dan batas usia calon kepala daerah serta wakil kepala daerah.
Namun, upaya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk menganulir putusan-putusan ini melalui revisi undang-undang Pilkada menimbulkan tantangan serius terhadap independensi lembaga yudikatif dan prinsip-prinsip demokrasi.
Dalam konteks ini, mahasiswa harus memosisikan diri sebagai kekuatan kritis yang mampu mengawal dan mempertahankan supremasi hukum.
Mahasiswa sebagai Penjaga Demokrasi
Mahasiswa, sebagai bagian dari lapisan masyarakat yang terdidik dan memiliki akses terhadap informasi kritis, memegang peranan penting dalam mempertahankan prinsip-prinsip demokrasi.
Dalam Teori Hegemoni Antonio Gramsci, mahasiswa dapat dilihat sebagai kelompok intelektual yang memiliki tanggung jawab untuk menantang kekuasaan dominan dan melawan upaya-upaya represif.
DPR RI, dengan upayanya untuk menganulir putusan MK, menunjukkan dorongan politik yang dapat merusak independensi lembaga yudikatif.
Oleh karena itu, mahasiswa harus bertindak sebagai oposisi yang mengedepankan argumen dan data untuk membela keputusan MK dan menekan DPR agar tidak melanggar prinsip hukum yang sudah ditetapkan.
Dekonstruksi Upaya Anulir: Ancaman terhadap Demokrasi
Revisi Undang-Undang Pilkada yang bertujuan untuk menganulir Putusan MK Nomor 60 dan 70 bukan sekadar intervensi terhadap keputusan yudikatif, tetapi juga ancaman serius terhadap prinsip-prinsip demokrasi.
Menurut Teori Demokrasi Radikal Chantal Mouffe dan Ernesto Laclau, demokrasi harus mengakomodasi pluralitas kekuasaan dan menolak dominasi satu kelompok atas kelompok lain.
Upaya DPR untuk mengubah ketentuan hukum yang telah diputuskan MK merupakan bentuk dominasi yang dapat mengganggu keseimbangan kekuasaan dan prinsip checks and balances. Mahasiswa perlu mengedepankan diskursus kritis tentang bagaimana upaya ini dapat melemahkan sistem hukum dan merugikan masyarakat.
Mahasiswa sebagai Agen Perubahan
Dalam Teori Kritik Ideologi Karl Marx, mahasiswa dapat dipandang sebagai agen perubahan yang berfungsi untuk mengungkap dan melawan ideologi dominan yang merugikan keadilan dan kesetaraan.
Dalam hal ini, mahasiswa harus mengembangkan narasi yang mengaitkan upaya DPR untuk menganulir putusan MK sebagai bentuk pembungkaman terhadap aspirasi publik dan inklusivitas politik.
Mahasiswa perlu menunjukkan bahwa revisi UU Pilkada dapat mengancam prinsip keterlibatan publik dan mempersempit ruang demokrasi.
Strategi Perlawanan: Aksi Kolektif dan Advokasi
Untuk melawan upaya DPR, mahasiswa harus mengorganisir diri dalam aliansi strategis dengan kelompok masyarakat sipil, organisasi non-pemerintah, dan akademisi.
Berdasarkan Teori Perlawanan Kolektif James C. Scott, perlawanan yang efektif tidak hanya berasal dari konfrontasi langsung, tetapi juga dari aksi kolektif yang terstruktur.
Mahasiswa bisa memanfaatkan media sosial, aksi damai, petisi, dan advokasi hukum untuk membangun kesadaran publik dan menekan DPR agar menghentikan revisi undang-undang yang merugikan.
Selain itu, mahasiswa harus memanfaatkan ruang akademis untuk menyebarluaskan wacana kritis melalui diskusi, seminar, dan publikasi ilmiah.
Kesimpulan
Dalam perspektif kritis, upaya DPR RI untuk menganulir Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024 melalui revisi UU Pilkada harus dipandang sebagai ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, hukum, dan partisipasi publik.
Mahasiswa, sebagai aktor intelektual dan agen perubahan sosial, memiliki tanggung jawab moral dan politis untuk mengawal putusan tersebut, mempertahankan independensi lembaga yudikatif, dan melawan setiap bentuk dominasi politik yang merusak prinsip-prinsip demokrasi.
Dengan perspektif kritis, mahasiswa harus membongkar agenda-agenda tersembunyi di balik upaya anulir tersebut dan membangun perlawanan yang solid dan terstruktur.
Peran mahasiswa dalam konteks ini bukan hanya sebagai penjaga, tetapi juga sebagai penggerak perubahan yang memastikan bahwa demokrasi tetap berpihak pada rakyat, bukan pada kepentingan politik sempit.
Tulisan ini saya persembahkan untuk para mahasiswa baru sebagai suplemen ilmu terhadap issue politik yang sedang trending di indonesia. (*)
Penulis : Dandi Abidina, Presiden Mahasiswa Universitas Tompotika Luwuk
Discussion about this post