
KILASBANGGAI.COM – PALU – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu menyatakan kegeramannya terhadap mekanisme penyelesaian sengketa pers, melalui pelaporan hukum di kepolisian.
Kali ini AJI Palu menyesalkan dan mengecam atas pemanggilan wartawati Metroluwuk, Emiliana, sebagai saksi oleh kepolisian dalam kasus dugaan pencemaran nama baik terkait pemberitaan tentang kelangkaan solar di SPBU atau Automated People Mover System (APMS) di Kecamatan Masama, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.
Menurut Koordinator Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Indenpenden (AJI) Palu Nurdiansyah, bahwa ini merupakan bentuk intimidasi terhadap kerja jurnalistik dan berpotensi melanggar kebebasan pers yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Pemanggilan wartawan sebagai saksi tentu tidak sejalan dengan UU Pers, atau semangat kebebasan pers. Jurnalis memiliki hak untuk mencari, mengolah dan menyebarkan informasi kepada publik, tentunya sesuai dengan kode etik jurnalistik. Langkah pemanggilan ini, kami benar-benar sangat kami sesalkan!,” kata pria yang disapa Nanang ini, Minggu (13/7/2025).
Kronologi kasus ini bermula, pada 4 Juni 2024, wartawati dari media online Metroluwuk, Emiliana menerima laporan, dari sejumlah petani di Kecamatan Masama, Kabupaten Banggai, terkait kelangkaan solar subsidi yang menyulitkan kegiatan pertanian, terutama di masa tanam. Emiliana pun saat itu segera melakukan proses jurnalistik, telah menerbitkan berita dengan judul “Petani Masama Tak Dilayani, Manager APMS Masama Diduga Bermain dalam Distribusi Solar Subsidi”.
Rupanya, berita tersebut yang telah diposting di facebook official Metroluwuk.net pada 12 Juni, diperkarakan secara hukum. Tanggal 12 Juli kemarin Emi mendapatkan surat panggilan sebagai saksi oleh kepolisian.
AJI menilai pemberitaan itu merupakan bagian dari tugas dan fungsi jurnalistik untuk menyampaikan informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik, berdasarkan laporan masyarakat. Akan tetapi bilamana terdapat pelanggaran etik yang dilakukan oleh wartawan bersangkutan, pihak yang dirugikan oleh pemberitaan mestinya menempuh mekanisme yang tepat.
“Mekanisme yang tepat adalah menggunakan hak jawab atau mengadukan ke Dewan Pers, bukan melalui proses hukum yang berpotensi mengkriminalisasi jurnalis,” tambah Nanang.
Selain itu apabila Emi dipanggil sebagai saksi dalam kasus pencemaran nama baik antar orang dirugikan nama baiknya dengan narasumber, maka mestinya Jurnalis tidak boleh dipaksa untuk memberikan kesaksian yang berkaitan dengan pemberitaan itu. Terutama bila tujuannya untuk mengungkap narasumber atau memvalidasi isi berita.
“Jika berita itu digunakan sebagai bukti dalam kasus pencemaran nama baik oleh narasumber, itu adalah hak pelapor. Akan tetapi tidak memerlukan jurnalis sebagai saksi untuk memvalidasi. Sebab jurnalis hanya mencatat pernyataan narasumber atau fakta benar menurut versi narasumber,” terangnya.
Dalam pernyataan sikapnya, AJI Palu menyampaikan beberapa poin penting:
1. Mengecam tindakan pemanggilan Emiliana sebagai saksi karena dianggap sebagai upaya menghambat kerja jurnalistik, yang bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UU Pers, yang mengatur ancaman pidana penjara 2 tahun atau denda Rp500 juta bagi pihak yang menghalangi tugas jurnalis.
2. Meminta kepolisian untuk menghentikan proses pemanggilan Emi sebagai saksi dan menghormati kebebasan pers sesuai UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
3. Mengimbau semua pihak untuk menghormati independensi jurnalis, dan yang terepenting tidak menggunakan cara-cara intimidatif yang dapat mengancam keselamatan atau kebebasan jurnalis dalam menjalankan tugasnya.
4. Mengimbau kepada setiap jurnalis mengedepankan Kode Etik Jurnalistik, agar berita tidak berpotensi kepada permasalahan hukum di kemudian hari.
5. AJI Palu juga mendesak kepolisian untuk transparan dan tidak memihak dalam menangani kasus ini, sehingga tidak merugikan satu pihak, utamanya jurnalis.
6. Meminta pihak-pihak yang merasa dirugikan dalam suatu karya jurnalistik untuk menempuh mekanisme pelaporan ke Dewan Pers sebelum ke ranah pidana.
“Kami mengimbau aparat penegak hukum untuk melindungi kebebasan pers, bukan justru menjadi alat untuk membungkam jurnalis,” tegas Nurdiansyah. (*)
Discussion about this post