Kilasbanggai.com
Rabu, Desember 31, 2025
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Karir
  • Pedoman Media Siber
  • Login
  • BERANDA
  • BANGGAI
  • MEMILIH 2024
    • Pemilu Legislatif
    • Pilpres
    • Pilkada
  • SULTENG
  • CELEBES
  • EKONOMI
  • POLITIK
  • OLAHRAGA
  • BISNIS
  • TRAVEL
  • ADVETORIAL
No Result
View All Result
Kilasbanggai.com
  • BERANDA
  • BANGGAI
  • MEMILIH 2024
    • Pemilu Legislatif
    • Pilpres
    • Pilkada
  • SULTENG
  • CELEBES
  • EKONOMI
  • POLITIK
  • OLAHRAGA
  • BISNIS
  • TRAVEL
  • ADVETORIAL
No Result
View All Result
Kilasbanggai.com
  • NASIONAL
  • BANGGAI
  • SULTENG
  • POLITIK
  • PARIWISATA
  • HUKRIM

Razia Buku: Sejarah Ketakutan yang Berulang

admin by admin
20 September 2025
in Opini

Oleh: Abdul Rahman Lasading

KILASBANGGAI.COM – Razia buku selalu berulang dalam sejarah Indonesia, seperti sebuah drama yang diputar kembali dengan aktor berbeda, tetapi dengan naskah yang sama: rasa takut pada pengetahuan. Buku-buku dicurigai hanya karena labelnya—“kiri”, “tengah”, atau “kanan”—padahal sebuah buku, apapun muatannya, sejatinya adalah alat belajar.

 

BACA JUGA

Membaca Bahaya Politik di Balik PMK 81/2025

Membaca Bahaya Politik di Balik PMK 81/2025

29 November 2025
Tanggapan atas Pernyataan PT Sawindo Cemerlang Terkait Klaim Legalitas dan Jaminan Keamanan Investasi

Tanggapan atas Pernyataan PT Sawindo Cemerlang Terkait Klaim Legalitas dan Jaminan Keamanan Investasi

26 November 2025

Ia adalah pintu untuk memahami bagaimana ide-ide lahir, berkembang, diperdebatkan, dan bahkan ditolak. Negara atau aparat yang menyita buku sering berargumen soal keamanan, bahaya ideologi, atau ketertiban sosial. Tetapi mari jujur: adakah masyarakat yang menjadi lebih dewasa dan kuat dengan melarang bacaan?

 

Atau justru sebaliknya, larangan itu hanya melahirkan kecurigaan, mengekalkan ketidaktahuan, dan memperlebar jurang antara negara dan warganya? Buku-buku kiri, yang bicara soal keadilan sosial dan perlawanan atas ketidakadilan; buku-buku kanan, yang mengusung tradisi, konservatisme, atau religiusitas; hingga buku-buku tengah, yang mencari titik kompromi dan jalan moderat—semuanya adalah bagian dari proses manusia mencari jawaban.

 

Michel Foucault (1972) pernah menulis, “Pengetahuan bukan hanya sekadar alat untuk memahami dunia, melainkan juga medan pertarungan kekuasaan.” Maka, ketika negara merazia buku, yang sesungguhnya dipertaruhkan bukan sekadar teks di atas kertas, tetapi kuasa siapa yang boleh dan tidak boleh berbicara.

 

Belajar politik tanpa membaca karya kiri ibarat memahami sejarah musik dengan menutup telinga pada gamelan. Begitu pula sebaliknya: menolak bacaan kanan sama dengan menyangkal setengah dari lanskap gagasan yang hidup di masyarakat. Pengetahuan adalah medan pertemuan ide. Justru dengan membaca dan menguji semua spektrum gagasan, kita bisa belajar memilah mana yang masih relevan, mana yang harus dikritisi, dan mana yang mesti ditinggalkan.

 

Razia buku menghentikan dialog itu, memutus rantai belajar, dan mengajarkan generasi muda bahwa ketakutan lebih kuat daripada akal sehat. Sejarah dunia penuh bukti bahwa razia buku tidak pernah benar-benar memadamkan ide. Buku-buku Marx pernah dilarang, tetapi gagasannya menyebar di berbagai belahan dunia. Begitu pula teks-teks keagamaan atau filsafat yang berabad-abad ditolak penguasa, justru hidup kembali di tangan pembaca yang mencari.

 

“Kata-kata memiliki sayap,” tulis Salman Rushdie (1990), “bahkan ketika buku dibakar, gagasannya terbang melampaui api.” Tidak semua gagasan layak diikuti, bahkan banyak yang berbahaya. Namun justru di situlah esensi belajar: membedakan, menguji, dan mengolah pikiran. Menutup akses pada bacaan hanya akan menjadikan masyarakat rapuh, mudah percaya pada gosip atau propaganda, karena tak pernah ditempa oleh perdebatan gagasan yang sebenarnya.

 

Kajian dari Amartya Sen (1999) dalam Development as Freedom menunjukkan bahwa kebebasan berpikir dan berekspresi bukan sekadar nilai moral, tetapi prasyarat bagi kemajuan ekonomi, sosial, dan politik. Masyarakat yang dibatasi bacaan cenderung stagnan, sementara yang membuka diri pada arus ide lebih adaptif dalam menghadapi perubahan. Buku kiri, tengah, dan kanan adalah cermin perjalanan manusia mencari makna hidup bersama.

 

Menyita buku berarti menolak bercermin. Dan masyarakat yang tak berani bercermin hanya akan berjalan dengan wajah yang tak dikenalnya sendiri. Kalau kita ingin bangsa yang kuat, bukannya menutup buku, yang harus dilakukan adalah membuka sebanyak mungkin, lalu mengajarkan warganya bagaimana membaca dengan kritis. Sebab kebebasan berpikir hanya tumbuh subur di tanah yang tak ditaburi ketakutan.

Previous Post

GMNI Poso Sukses Gelar PPAB II, Perkuat Ideologi Marhaenisme di Tanah Sintuwu Maroso

Next Post

Evaluasi Program Berani Sehat di Poso, Wagub Sulteng Ingatkan Nakes Jangan Tolak Pasien Ber-KTP Sulawesi Tengah

Berita Pilihan

Membaca Bahaya Politik di Balik PMK 81/2025

Membaca Bahaya Politik di Balik PMK 81/2025

by Ikbal Siduru
29 November 2025
0

  Dandi Abidina (Rakyat biasa yang bercita-cita menjadi presiden) KILASBANGGAI.COM - Politik pada dasarnya lahir dari cita-cita luhur yaitu memastikan...

Tanggapan atas Pernyataan PT Sawindo Cemerlang Terkait Klaim Legalitas dan Jaminan Keamanan Investasi

Tanggapan atas Pernyataan PT Sawindo Cemerlang Terkait Klaim Legalitas dan Jaminan Keamanan Investasi

by Muhammad Maruf
26 November 2025
0

Oleh: Rifat Hakim — Pendamping Masyarakat Desa Masing KILASBANGGAI.COM-Pernyataan PT Sawindo Cemerlang melalui Senior Manager, Fauzan Abdi, yang dipublikasikan di...

Parigi dan Jejak Sunyi Keadilan

Parigi dan Jejak Sunyi Keadilan

by Muhammad Maruf
16 November 2025
0

Oleh: Syarif Tayeb KILASBANGGAI.COM- “Where there is ruin, there is hope for a treasure.” Bahwa di balik setiap kerumitan persoalan,...

Rencana Tambang dan Suara Penolakan Masyarakat Nuhon

Rencana Tambang dan Suara Penolakan Masyarakat Nuhon

by Muhammad Maruf
13 November 2025
0

Oleh : I Putu Andre Juliana (Akademisi Universitas Tompotika Luwuk) KILASBANGGAI.COM- Rencana masuknya tambang nikel di wilayah kecamatan Nuhon, Kabupaten...

Zoran Mamdani dan Harapan untuk Politik Anak Muda Banggai

Zoran Mamdani dan Harapan untuk Politik Anak Muda Banggai

by Muhammad Maruf
6 November 2025
0

Oleh: Supriadi Lawani KILASBANGGAI.COM-Zoran Mamdani mungkin bukan nama yang akrab di telinga sebagian orang Indonesia. Anak seorang profesor keturunan India,...

Next Post
Evaluasi Program Berani Sehat di Poso, Wagub Sulteng Ingatkan Nakes Jangan Tolak Pasien Ber-KTP Sulawesi Tengah

Evaluasi Program Berani Sehat di Poso, Wagub Sulteng Ingatkan Nakes Jangan Tolak Pasien Ber-KTP Sulawesi Tengah

Discussion about this post

2025 Berlalu, Tak Ada Kasus Korupsi Disentuh Polres Banggai

2025 Berlalu, Tak Ada Kasus Korupsi Disentuh Polres Banggai

by Asnawi Zikri
31 Desember 2025
0

Polsek Bunta Imbau Pedagang Tak Jual Petasan, Berdaya Ledak Besar

Polsek Bunta Imbau Pedagang Tak Jual Petasan, Berdaya Ledak Besar

by Ikbal Siduru
31 Desember 2025
0

Konsep Otomatis

Gubernur Anwar Hafid Lantik 36 Pejabat Eselon II dan 3.230 PPPK Paruh Waktu

by Muhammad Maruf
31 Desember 2025
0

Konsep Otomatis

Setelah 212 Km di 2025, Anwar-Reny Bidik Jalan Lingkar Togean dan Kepala Burung Banggai

by Muhammad Maruf
30 Desember 2025
0

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Karir
  • Privacy Policy
Media Network

© 2023 Kilasbanggai.com

No Result
View All Result
  • BERANDA
  • BANGGAI
  • MEMILIH 2024
    • Pemilu Legislatif
    • Pilpres
    • Pilkada
  • SULTENG
  • CELEBES
  • EKONOMI
  • POLITIK
  • OLAHRAGA
  • BISNIS
  • TRAVEL
  • ADVETORIAL

© 2023 Kilasbanggai.com

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In