Kilasbanggai.com
Sabtu, Oktober 11, 2025
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Karir
  • Pedoman Media Siber
  • Login
  • BERANDA
  • BANGGAI
  • MEMILIH 2024
    • Pemilu Legislatif
    • Pilpres
    • Pilkada
  • SULTENG
  • CELEBES
  • EKONOMI
  • POLITIK
  • OLAHRAGA
  • BISNIS
  • TRAVEL
  • ADVETORIAL
No Result
View All Result
Kilasbanggai.com
  • BERANDA
  • BANGGAI
  • MEMILIH 2024
    • Pemilu Legislatif
    • Pilpres
    • Pilkada
  • SULTENG
  • CELEBES
  • EKONOMI
  • POLITIK
  • OLAHRAGA
  • BISNIS
  • TRAVEL
  • ADVETORIAL
No Result
View All Result
Kilasbanggai.com
  • NASIONAL
  • BANGGAI
  • SULTENG
  • POLITIK
  • PARIWISATA
  • HUKRIM

Razia Buku: Sejarah Ketakutan yang Berulang

Rdks by Rdks
20 September 2025
in Opini

Oleh: Abdul Rahman Lasading

KILASBANGGAI.COM – Razia buku selalu berulang dalam sejarah Indonesia, seperti sebuah drama yang diputar kembali dengan aktor berbeda, tetapi dengan naskah yang sama: rasa takut pada pengetahuan. Buku-buku dicurigai hanya karena labelnya—“kiri”, “tengah”, atau “kanan”—padahal sebuah buku, apapun muatannya, sejatinya adalah alat belajar.

 

BACA JUGA

Gunakan Material Dari Sumber Ilegal, Kontraktor Proyek Dapat Dipidana

Gunakan Material Dari Sumber Ilegal, Kontraktor Proyek Dapat Dipidana

26 Agustus 2025
Tidak Puas Hasil PSU, AMPUH Sulteng Prihatin Program Pemerintahan Kandas

Tidak Puas Hasil PSU, AMPUH Sulteng Prihatin Program Pemerintahan Kandas

24 April 2025

Ia adalah pintu untuk memahami bagaimana ide-ide lahir, berkembang, diperdebatkan, dan bahkan ditolak. Negara atau aparat yang menyita buku sering berargumen soal keamanan, bahaya ideologi, atau ketertiban sosial. Tetapi mari jujur: adakah masyarakat yang menjadi lebih dewasa dan kuat dengan melarang bacaan?

 

Atau justru sebaliknya, larangan itu hanya melahirkan kecurigaan, mengekalkan ketidaktahuan, dan memperlebar jurang antara negara dan warganya? Buku-buku kiri, yang bicara soal keadilan sosial dan perlawanan atas ketidakadilan; buku-buku kanan, yang mengusung tradisi, konservatisme, atau religiusitas; hingga buku-buku tengah, yang mencari titik kompromi dan jalan moderat—semuanya adalah bagian dari proses manusia mencari jawaban.

 

Michel Foucault (1972) pernah menulis, “Pengetahuan bukan hanya sekadar alat untuk memahami dunia, melainkan juga medan pertarungan kekuasaan.” Maka, ketika negara merazia buku, yang sesungguhnya dipertaruhkan bukan sekadar teks di atas kertas, tetapi kuasa siapa yang boleh dan tidak boleh berbicara.

 

Belajar politik tanpa membaca karya kiri ibarat memahami sejarah musik dengan menutup telinga pada gamelan. Begitu pula sebaliknya: menolak bacaan kanan sama dengan menyangkal setengah dari lanskap gagasan yang hidup di masyarakat. Pengetahuan adalah medan pertemuan ide. Justru dengan membaca dan menguji semua spektrum gagasan, kita bisa belajar memilah mana yang masih relevan, mana yang harus dikritisi, dan mana yang mesti ditinggalkan.

 

Razia buku menghentikan dialog itu, memutus rantai belajar, dan mengajarkan generasi muda bahwa ketakutan lebih kuat daripada akal sehat. Sejarah dunia penuh bukti bahwa razia buku tidak pernah benar-benar memadamkan ide. Buku-buku Marx pernah dilarang, tetapi gagasannya menyebar di berbagai belahan dunia. Begitu pula teks-teks keagamaan atau filsafat yang berabad-abad ditolak penguasa, justru hidup kembali di tangan pembaca yang mencari.

 

“Kata-kata memiliki sayap,” tulis Salman Rushdie (1990), “bahkan ketika buku dibakar, gagasannya terbang melampaui api.” Tidak semua gagasan layak diikuti, bahkan banyak yang berbahaya. Namun justru di situlah esensi belajar: membedakan, menguji, dan mengolah pikiran. Menutup akses pada bacaan hanya akan menjadikan masyarakat rapuh, mudah percaya pada gosip atau propaganda, karena tak pernah ditempa oleh perdebatan gagasan yang sebenarnya.

 

Kajian dari Amartya Sen (1999) dalam Development as Freedom menunjukkan bahwa kebebasan berpikir dan berekspresi bukan sekadar nilai moral, tetapi prasyarat bagi kemajuan ekonomi, sosial, dan politik. Masyarakat yang dibatasi bacaan cenderung stagnan, sementara yang membuka diri pada arus ide lebih adaptif dalam menghadapi perubahan. Buku kiri, tengah, dan kanan adalah cermin perjalanan manusia mencari makna hidup bersama.

 

Menyita buku berarti menolak bercermin. Dan masyarakat yang tak berani bercermin hanya akan berjalan dengan wajah yang tak dikenalnya sendiri. Kalau kita ingin bangsa yang kuat, bukannya menutup buku, yang harus dilakukan adalah membuka sebanyak mungkin, lalu mengajarkan warganya bagaimana membaca dengan kritis. Sebab kebebasan berpikir hanya tumbuh subur di tanah yang tak ditaburi ketakutan.

Previous Post

GMNI Poso Sukses Gelar PPAB II, Perkuat Ideologi Marhaenisme di Tanah Sintuwu Maroso

Next Post

Evaluasi Program Berani Sehat di Poso, Wagub Sulteng Ingatkan Nakes Jangan Tolak Pasien Ber-KTP Sulawesi Tengah

Berita Pilihan

Gunakan Material Dari Sumber Ilegal, Kontraktor Proyek Dapat Dipidana

Gunakan Material Dari Sumber Ilegal, Kontraktor Proyek Dapat Dipidana

by Rdks
26 Agustus 2025
0

KILASBANGGAI.COM - Dalam pengerjaan berbagai proyek di wilayah kabupaten Banggai, Sulawesi tengah, truk-truk pengangkut material tanah urug, tanah merah dan...

Tidak Puas Hasil PSU, AMPUH Sulteng Prihatin Program Pemerintahan Kandas

Tidak Puas Hasil PSU, AMPUH Sulteng Prihatin Program Pemerintahan Kandas

by Rdks
24 April 2025
0

KILASBANGGAI.COM - Situasi politik Kabupaten Banggai pasca momentum Pemungutan Suara (Voting Day) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 27 November 2024, dan...

Ancaman Demokrasi di Indonesia dan Bangkitnya Orde Baru, Gen Z Bisa Apa?

Ancaman Demokrasi di Indonesia dan Bangkitnya Orde Baru, Gen Z Bisa Apa?

by Rdks
22 April 2025
0

Penulis : Rifat Hakim (Mantan Ketua DPC GMNI Luwuk Banggai)  KILASBANGGAI.COM-Disahkannya revisi Undang-Undang TNI pada April 2024 menjadi tamparan keras...

Hadianto Rasyid: Simbol Optimisme dan Kolaborasi bagi Masyarakat Palu

Hadianto Rasyid: Simbol Optimisme dan Kolaborasi bagi Masyarakat Palu

by Rdks
19 April 2025
0

Penulis: Muhammad Shadiq Muntashir (Presiden Mahasiswa UIN Datokrama Palu 2021) KILASBANGGAI.COM,PALU- Kota Palu yang pernah hancur akibat bencana gempa dan...

Paradoks Jual Beli Suara

Paradoks Jual Beli Suara

by Rdks
4 April 2025
0

Penulis: Dr. Ade Putra Ode Amane, S.Sos., M.Si(Staff Pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Luwuk) Praktik...

Next Post
Evaluasi Program Berani Sehat di Poso, Wagub Sulteng Ingatkan Nakes Jangan Tolak Pasien Ber-KTP Sulawesi Tengah

Evaluasi Program Berani Sehat di Poso, Wagub Sulteng Ingatkan Nakes Jangan Tolak Pasien Ber-KTP Sulawesi Tengah

Discussion about this post

Keracunan MBG di Moilong Terus Bertambah: Tembus 123 Siswa, 44 Orang Rawat Inap

Keracunan MBG di Moilong Terus Bertambah: Tembus 123 Siswa, 44 Orang Rawat Inap

by Rdks
11 Oktober 2025
0

Akses Keadilan Merata! Banggai Kepulauan Jadi Daerah Ke-4 di Sulteng Capai 100% Posbankum

Akses Keadilan Merata! Banggai Kepulauan Jadi Daerah Ke-4 di Sulteng Capai 100% Posbankum

by Rdks
11 Oktober 2025
0

Keracunan MBG di Moilong Capai 74 Siswa, Dinkes Banggai Ambil Sampel Tinja untuk Uji Lab

Keracunan MBG di Moilong Capai 74 Siswa, Dinkes Banggai Ambil Sampel Tinja untuk Uji Lab

by Rdks
11 Oktober 2025
0

Puluhan Siswa SMA Moilong Diduga Keracunan MBG, Dirawat Hingga Teras Puskesmas

Puluhan Siswa SMA Moilong Diduga Keracunan MBG, Dirawat Hingga Teras Puskesmas

by Rdks
11 Oktober 2025
0

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Karir
  • Privacy Policy
Media Network

© 2023 Kilasbanggai.com

No Result
View All Result
  • BERANDA
  • BANGGAI
  • MEMILIH 2024
    • Pemilu Legislatif
    • Pilpres
    • Pilkada
  • SULTENG
  • CELEBES
  • EKONOMI
  • POLITIK
  • OLAHRAGA
  • BISNIS
  • TRAVEL
  • ADVETORIAL

© 2023 Kilasbanggai.com

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In