
Penulis: Halsyah Handayani – Mahasiswa
KILASBANGGAI.COM-Berita duka tentang kematian tragis seorang perempuan di Desa Tongkonunuk, Kecamatan Pagimana, Kabupaten Banggai, yang membakar dirinya sendiri setelah bentrokan rumah tangga. Peristiwa ini menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental, terutama yang dihadapi oleh wanita, masih dipandang sebelah mata. Kita hidup dalam sistem yang mengabaikan keluhan batin dan luka mental yang tidak terlihat.
Perempuan seringkali menjadi korban dari berbagai tekanan psikologis, mulai dari ekspektasi sosial yang membungkam emosi mereka, beban kerja domestik yang tidak diakui, dan kekerasan dalam rumah tangga. Karena tidak ada ruang aman untuk berbicara atau meminta bantuan, dalam banyak kasus, termasuk kasus di Bualemo ini, kematian dianggap sebagai satu-satunya jalan keluar yang mungkin.
Data nasional menunjukkan bahwa perempuan dua kali lebih mungkin dibandingkan laki-laki mengalami depresi dan gangguan kecemasan. Namun sayangnya, jumlah layanan kesehatan mental yang tersedia di daerah-daerah seperti Banggai masih sangat rendah. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, jumlah tenaga kerja psikolog dan psikiater jauh di bawah standar. Lebih parahnya lagi, stigma gangguan jiwa masih kuat, yang menyebabkan banyak perempuan memilih untuk tetap diam dan menderita dalam kesunyian.
Kasus ini membuktikan bahwa tekanan psikologis tidak boleh dianggap remeh. Kita harus berpikir di mana negara berada ketika seorang wanita memutuskan untuk membakar dirinya sendiri. Di mana lembaga sosial sekarang? Di mana masyarakat berada?
Tidak cukup hanya kesedihan atau kekhawatiran. Diperlukan tindakan yang sistemik dan konkret, seperti meningkatkan layanan kesehatan jiwa di puskesmas, membangun ruang konsultasi gratis dan rahasia, dan membangun rumah aman bagi korban kekerasan rumah tangga. Untuk menghilangkan stigma terhadap kesehatan mental, terutama bagi perempuan, pendidikan publik juga harus ditingkatkan.
Meskipun perempuan bukan makhluk yang lemah, situasi yang tidak mendukung seringkali memaksa mereka untuk bertindak. Kita tidak boleh menyalahkan mereka ketika mereka jatuh. Sebaliknya, kita harus berpikir: apa yang tidak kita lakukan sebagai bangsa dan masyarakat?
Kasus Pagimana menunjukkan luka sosial yang selama ini kita abaikan. Dan jika tidak ada perubahan segera, tragedi seperti ini mungkin akan terulang secara diam-diam karena wanita yang sakit jiwa sering memilih untuk mati secara diam-diam.
Harapan saya adalah bahwa tragedi seperti yang terjadi di Pagimana akan menjadi titik balik bagi kesadaran kita semua untuk lebih peka dan responsif terhadap masalah kesehatan mental, terutama bagi wanita. Diperlukan komitmen yang kuat dari semua pihak pemerintah, lembaga kesehatan, kelompok masyarakat, dan lingkungan keluarga untuk membangun sistem yang mendukung keselamatan dan kesejahteraan jiwa perempuan.
Perempuan harus mendapatkan bantuan psikologis tanpa rasa takut, malu, atau terintimidasi. Ini adalah satu-satunya cara kita dapat membangun masyarakat yang tidak hanya sehat secara fisik, tetapi juga kuat secara mental, dan yang empati secara sosial.(*)
Discussion about this post