KILASBANGGAI.COM, BUNTA – Gelombang protes menguat setelah keputusan sepihak Kepala SMA Negeri 03 Bunta, kecamatan Bunta, kabupaten Banggai, Sulawesi tengah yang dinilai tidak objektif dan melampaui kewenangan dalam menangani kasus perkelahian siswa pada 28 November 2025.
Insiden yang terjadi di luar lingkungan dan jam sekolah itu justru dijadikan dasar sekolah untuk menjatuhkan sanksi ekstrem yaitu mengeluarkan siswa bernama Aksa dari sekolah setelah ujian.
Keputusan ini memicu kemarahan publik, terutama organisasi mahasiswa. BEM Untika menilai tindakan Kepala Sekolah merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang tidak boleh ditoleransi.
Mentri Advokasi dan Kajian Strategis BEM Untika dalam pernyataannya menyebut keputusan itu sebagai “tindakan otoriter yang menginjak hak pendidikan anak.”
“Mengeluarkan siswa atas kejadian yang bahkan bukan dalam ranah sekolah adalah preseden buruk. Ini bukan sikap seorang pendidik, melainkan sikap penguasa yang gagal mengerti mandat moralnya,” tegasnya.
Pihak keluarga korban juga mengecam keras keputusan tersebut. Melfa Abidina, orang tua Aksa, menyebut bahwa sekolah telah membuat keputusan tanpa prosedur yang jelas, tanpa berita acara dan tanpa mengacu pada tata tertib resmi.
“Kami tidak menerima keputusan sepihak ini. Hak masa depan anak saya bukan alat eksperimen bagi kebijakan yang tidak jelas,” ujarnya.
BEM Untika menilai Kepala Sekolah telah melanggar prinsip dasar pendidikan dan AUPB (Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik), termasuk asas kepastian hukum, asas kecermatan, dan asas perlindungan terhadap hak warga negara.
Menurut para aktivis, jika tindakan seperti ini dibiarkan, sekolah akan berubah menjadi ruang represi, bukan ruang tumbuh kembang anak.
“Kami mencatat bahwa tidak ada satu pun alasan objektif yang dapat membenarkan pengeluaran siswa ini. Keputusan seperti ini hanya memperlihatkan betapa buruknya tata kelola sekolah,” kata salah satu Mentri Advokasi dan Kajian Strategis.
BEM Untika bersama keluarga siswa dan sejumlah elemen masyarakat resmi mengajukan tuntutan sebagai berikut:
1. Pencopotan Kepala SMA Negeri 03 Bunta karena diduga menyalahgunakan wewenang dan bertindak tidak objektif.
2. Investigasi menyeluruh oleh Dinas Pendidikan terhadap seluruh proses pengambilan keputusan.
3. Pemulihan hak pendidikan Aksa, tanpa diskriminasi dan tanpa penundaan.
4. Evaluasi total tata kelola sekolah, agar praktik otoriter serupa tidak kembali terjadi.
5. Penerapan mekanisme pembinaan berbasis perlindungan anak, bukan hukuman ekstrem yang merusak masa depan siswa.
Para aktivis menegaskan bahwa kasus ini bukan persoalan satu siswa semata, tetapi persoalan kultur kekuasaan di lingkungan pendidikan.
“Ketika pendidikan dijalankan dengan cara-cara sewenang-wenang, maka tugas gerakan mahasiswa adalah berdiri di barisan depan. Kami tidak akan diam ketika hak-hak anak diinjak oleh lembaga yang seharusnya melindungi mereka,” ujar Sandi Mentri Advokasi dan Kajian Strategis dalam pernyataan penutup.












Discussion about this post