
KILASBANGGAI.COM – Pilkada Banggai telah selesai. Namun, di balik penghitungan suara dan euforia kemenangan, tersisa kenyataan yang lebih sunyi.
Masyarakat yang terbelah, pergaulan yang renggang, dan luka-luka sosial yang tidak terlihat dalam data partisipasi pemilih atau rekapitulasi hasil suara.
Demokrasi elektoral, dalam praktiknya, justru memperlihatkan paradoks antara kemerdekaan memilih dan kerentanan kohesi sosial.
Sebagai mantan pengurus besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang hari ini mendedikasikan diri dalam Gerakan Mari Bersaudara, saya memandang bahwa momen pasca-Pilkada bukan hanya soal stabilitas politik, melainkan soal rekonstruksi relasi sosial yang sempat rusak akibat rivalitas elektoral.
Dalam membaca situasi ini, saya meminjam pandangan Lewis A. Coser, seorang sosiolog yang menjelaskan bahwa konflik sosial tidak selalu destruktif, justru dapat berfungsi sebagai mekanisme integrasi dan penyesuaian struktur sosial.
Namun, syaratnya satu konflik harus dikelola, bukan dibiarkan menjadi bara dendam. Jika dibiarkan tanpa kanal resolusi, konflik politik dapat menjelma menjadi antagonisme permanen yang memecah masyarakat hingga ke level keluarga dan komunitas adat.
Sayangnya, di Banggai yang terjadi adalah bentuk konflik yang tidak terselesaikan secara sehat. Ketegangan antarpendukung, saling boikot dalam ekonomi lokal, hingga polarisasi digital di media sosial, semuanya menunjukkan bahwa kita belum memiliki habitus demokrasi yang cukup matang untuk merespons perbedaan pilihan secara dewasa. Ini bukan sekadar persoalan emosi politik, tetapi gejala dari lemahnya ruang publik deliberatif yang adil dan terbuka.
Karena itu, Gerakan Mari Bersaudara hadir bukan sebagai slogan kosong, tetapi sebagai strategi sosial untuk membangun kembali kepercayaan antarkelompok. Gerakan ini berangkat dari keyakinan bahwa politik lokal tidak boleh kehilangan akar sosialnya yaitu gotong royong, musyawarah, dan nilai kekeluargaan.
Demokrasi yang tidak berakar pada budaya setempat hanya akan menjadi prosedural, tanpa substansi kemanusiaan.
Saya menyerukan kepada semua elemen tokoh adat, pemuda, organisasi mahasiswa, serta para aktor politik untuk berhenti menormalisasi polarisasi. Demokrasi sejati tidak berhenti di kotak suara. Ia berlanjut dalam ruang-ruang sosial yang kita tempati bersama, dari pasar hingga masjid, dari ladang hingga sekolah.
Masyarakat Banggai harus segera melewati fase euforia dan luka ini. Jika konflik adalah keniscayaan dalam politik, maka rekonsiliasi adalah tugas bersama. Dan hanya dengan memperkuat persaudaraan, kita bisa memastikan bahwa demokrasi tidak menjadi instrumen perpecahan, melainkan jalan menuju keadaban bersama.
Oleh: Surya Bascara Bola – Mantan Pengurus Besar HMI & Pendiri Gerakan Mari Bersaudara
Discussion about this post