Oleh: Supriadi Lawani
KILASBANGGAI.COM-Bupati Banggai akhirnya mencabut surat edaran yang sebelumnya melarang penjualan beras keluar Daerah dengan alasan harga sudah stabil . Pencabutan ini dilakukan setelah kebijakan tersebut menuai kritik karena dinilai melampaui kewenangan hukum dan merugikan petani. Namun pencabutan larangan itu ternyata tidak langsung menurunkan harga beras di pasar tradisional.
Hingga tulisan ini dibuat, harga beras premium seperti jenis Habo dan Cinta Nur masih berada di kisaran Rp12.500 per liter atau itu setara dengan ± Rp15.600 – Rp16.700 per kilogram (tergantung asumsi massa jenis beras).
Sementara beras jenis medium seperti Ciliwung dijual Rp11.500 per liter, setara dengan ±Rp 15.300 per kilogram,
Padahal, sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) pemerintah untuk zona Sulawesi, harga beras premium semestinya Rp14.400/kg dan medium Rp13.900/kg.
Artinya, harga riil di pasar Banggai masih di atas HET nasional, bahkan setelah intervensi pemerintah daerah dihentikan. Situasi ini menimbulkan satu pertanyaan besar: apa sebenarnya arah kebijakan pangan Banggai?
1.Dari Pembatasan ke Pembiaran: Dua Ekstrem yang Sama Bermasalah
Beberapa bulan lalu sampai dengan dicabut nya surat edaran kemarin, Bupati Banggai berupaya menahan harga dengan cara membatasi penjualan keluar daerah. Kini, setelah dikritik, kebijakan itu dicabut dan harga dikembalikan ke mekanisme pasar. Namun dua kebijakan ekstrem ini — pembatasan penuh dan pembiaran penuh — sama-sama menunjukkan ketidakhadiran pemerintah daerah dalam tata kelola pangan yang cerdas.
Larangan keluar daerah kemarin cacat hukum, karena surat edaran tidak memiliki kekuatan mengikat publik dan melampaui kewenangan administratif sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014. Tetapi mencabutnya tanpa menyiapkan instrumen alternatif stabilisasi harga juga menunjukkan lemahnya koordinasi pangan daerah.
Kebijakan pangan tidak bisa sekadar “larang atau bebas”. Ia memerlukan manajemen stok dan distribusi yang aktif, agar harga tetap stabil tanpa menekan petani dan tanpa membebani konsumen.
2.Harga Naik, Siapa yang Sebenarnya Untung?
Sering kali, kenaikan harga beras dianggap kabar baik bagi petani. Tetapi pertanyaannya: petani yang mana? Petani di Indonesia pada umumnya dan kabupaten Banggai khususnya tidak lah homogen. Ini harus menjadi catatan penting untuk kita semua bahwa sejak lama sudah terjadi Diferensiasi kelas dalam sektor pertanian.
Petani kecil yang hanya memiliki 0,5–1 hektar sawah umumnya menjual gabah segera setelah panen karena butuh uang tunai. Mereka jarang menyimpan stok dan tidak punya kapasitas menggiling sendiri. Ketika harga beras naik di tingkat eceran, mereka tidak ikut menikmati keuntungan, karena gabah mereka sudah lama dijual kepada tengkulak dengan harga lebih rendah.
Sebaliknya, petani kaya dengan puluhan hektar lahan atau yang punya akses ke penggilingan beras dan gudang penyimpanan bisa menahan stok. Ketika harga naik, merekalah yang menikmati margin besar.
Ada pula kelompok penggilingan dan pedagang besar, yang sesungguhnya paling diuntungkan dari fluktuasi harga. Mereka membeli gabah saat murah, menggiling, dan menjual saat harga tinggi — sering kali justru berperan sebagai “penentu harga pasar” yang sebenarnya.
Jadi, ketika harga beras naik, petani kecil tidak serta-merta diuntungkan. Justru mereka yang paling rentan terhadap sistem distribusi yang tidak adil.
Di sisi lain, rakyat non-petani — nelayan, buruh, tukang ojek, dan petani pekebun — langsung menanggung beban harga tinggi. Maka, kebijakan pangan yang hanya mengandalkan mekanisme pasar sama artinya dengan membiarkan ketimpangan tumbuh di antara rakyat kecil sendiri.
3.Harga Tidak Turun Karena Rantai Distribusi Rusak
Kenyataan bahwa harga beras masih jauh di atas HET meski tanpa pembatasan menunjukkan bahwa masalah utama bukan pada ekspor antarwilayah, melainkan di rantai distribusi lokal.
Biaya logistik, peran tengkulak besar, serta minimnya cadangan beras pemerintah daerah membuat harga di pasar sulit dikendalikan. Bahkan ketika pasokan cukup, harga tetap tinggi karena struktur pasar yang oligopolistik — hanya segelintir pedagang besar yang menentukan harga.
Dengan kata lain, pencabutan edaran tidak otomatis memulihkan keseimbangan pasar, sebab pasar beras di Banggai bukanlah pasar bebas sempurna. Ia dikendalikan oleh jaringan pedagang besar dan distribusi yang panjang, sementara pemerintah tidak memiliki alat kontrol harga yang efektif.
4.Solusi Jangka Pendek: Pemerintah Daerah Harus Hadir
Agar inflasi tidak terus tertekan oleh harga beras, Pemerintah Daerah Banggai perlu mengambil langkah praktis dan legal tanpa kembali ke kebijakan yang melampaui kewenangan.
Beberapa langkah yang bisa segera dilakukan antara lain:
Bangun Cadangan Pangan Daerah (Lumbung Kabupaten).
Pemerintah dapat membeli sebagian beras petani dengan harga layak, lalu menyalurkannya ke pasar saat harga melonjak. Ini legal dan efektif menekan inflasi.
Aktifkan Bulog dan BUMD Pangan Daerah.
Bupati dapat meminta Bulog memperkuat operasi pasar khusus di pasar-pasar tradisional dengan harga sesuai HET.
Transparansi Harga dan Distribusi.
Dinas Perdagangan wajib mempublikasikan harga harian beras di tiap pasar agar masyarakat mengetahui dinamika dan mencegah permainan harga.
Bantuan Langsung untuk Rakyat Rentan Non-Petani.
Nelayan, buruh, tukang ojek, dan petani non-padi perlu diberi subsidi beras sementara hingga harga stabil.
Dengan langkah-langkah ini, stabilisasi harga bisa dicapai tanpa menabrak hukum dan tanpa mengorbankan petani.
5. Politik Pangan yang Hilang Arah
Perubahan kebijakan yang mendadak — dari larangan total ke pembiaran total — memperlihatkan ketidakjelasan arah politik pangan daerah.
Seharusnya, kebijakan pangan tidak bersifat reaktif terhadap tekanan harga, tetapi berbasis perencanaan stok, pengendalian rantai distribusi, dan keberpihakan yang seimbang.
Petani padi kecil memerlukan kepastian harga agar terus berproduksi, sementara masyarakat kecil pada umumnya memerlukan kepastian pasokan dengan harga terjangkau. Ketika keduanya tidak dijaga, yang muncul hanyalah inflasi pangan yang terus berulang — dan pemerintah yang tampak gagap menghadapi krisis harga pokok.
Penutup
Pencabutan surat edaran Bupati Banggai adalah langkah tepat dari sisi hukum, tetapi belum menjawab masalah inti dari tingginya harga beras. Saat ini harga beras premium di pasar paling tidak sampai tulisan ini ditulis masih diatas HET sebagaimana ketentuan pemerintah.
Ini bukan sekadar masalah pasar, tetapi masalah absennya manajemen pangan daerah.
Pemerintah Banggai perlu keluar dari dua ekstrem — larangan dan pembiaran — menuju politik pangan yang aktif, adil, dan berpihak pada rakyat.
Stabilisasi harga bukan sekadar menjaga angka inflasi, tetapi memastikan bahwa petani padi kecil tetap hidup layak dan rakyat kecil pada umumnya seperti kami tetap bisa makan dengan tenang.
Luwuk 27/10/3025
Penulis adalah petani pisang












Discussion about this post